CLICK HERE

Monday, January 23, 2017

MAKALAH TENTANG PERCERAIAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

1.1.Latar Belakang

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersamasuami isteri tersebut.Setiap orang menghendaki agar pernikahan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula pernikahan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu pernikahan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan pernikahan.

Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya pernikahan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.

 

1.2.Rumusan Masalah

1.      Bagaimana perceraian/putusnya pernikahan menurut hukum islam?

2.      Bagaimana Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?

 

1.3.Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1.      Untuk mengetahui tetang perceraian/putusnya pernikahan menurut hukum islam.

2.      Untuk mengetahui tentang Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

2.1.Putusnya Pernikahan Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam, pernikahan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya (karena kematian). Di dalam makalah ini, putusnya pernikahan karena kematian tidak akan penulis uraikan lebih lanjut karena putusnya pernikahan disebabkan kematian dapat dimaklumi karena merupakan kehendak Allah SWT.

Adapun yang menyebabkan putusnya pernikahan sebagaimana yang penulis sebutkan di atas adalah sebagai berikut:

a.      Putusnya Pernikahan Karena Thalaq.

Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah pernikahan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.

 

Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:

الطلاق : حل الو ثاقمشتق من الاطلاق وهو الارسالوالترك

“Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ithlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”

Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily, Thalaq ialah :

الطلاق لغة حل القيد والاطلاق

“Thalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau melepaskan”.

Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat dipahami sebagai berikut :

“Thalaq menurut istilah syarak ialah melepaskan ikatan pernikahan atau bubarnya hubungan pernikahan”

Maksudnya ialah bahwa ikatan pernikahan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya.

Memperhatikan beberapa pengertian Thalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thalaq adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan pernikahan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang ditetapkan.

Setelah ikatan pernikahan itu diangkat atau dilepaskan maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan thalaq ba’in. Tapi apabila suami melaksanakan thalaq raj’i maka hak thalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami memiliki hak menjatuhkan thalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan menjadi satu. Dengan kata lain thalaqraj’i adalah mengurangi pelepasan ikatan pernikahan.

Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'I sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)

"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim).

Hal-hal yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan senantiasa mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya.Berbeda dengan wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut, termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja dapat  menyebabkan isteri menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.

b.      Putunya pernikahan karena Khulu’

Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.[8] Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.

Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka isteri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut baginya.

Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadhatau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.

Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in. Maka bila suami telah melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.

 

c.       Putusnya pernikahan karena Fasakh

Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun pengertian fasakhmenurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri.[10]Thalaq adalah hak suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakhada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya.

Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya pernikahan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yng lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan pernikahan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.

Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.

d.      Putusnya pernikahan karena Li’an

Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.

Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.

e.       Putusnya pernikahan karena Syiqaq

Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa : 35

 “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisa : 35)

Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.

f.        Putusnya pernikahan karena Ila’

Ila’ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum pernikahan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:

1)      Suami yang meng-ila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.

2)      Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau menthalaqnya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:

1)      Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau

2)      Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

3)      Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka

4)      Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.

g.      Putusnya pernikahan karena Zihar

Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam zhihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzhihar isteri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami yang terlanjur menzhihar isterinya agar menarik kembali zhihar-nya dengan diwajibkan membayar kafarat(denda) dengan memerdekakan seorang budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin.

 

2.2.Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Berlakunya Undang-Undang Pernikahan secara efektif yaitu :

UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk pernikahan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan, termasuk perceraian atau putusnya pernikahan. Oleh karena itu, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu, maupun Budha”.

Khusus tentang putusnya pernikahan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Pernikahan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan Pengadilan. Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Bahwa di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3. Tatacara Perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersndiri”.

Selanjutnya untuk membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat pada poin c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut :

“Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah “cerai Thalaq” untuk membedakan pengertian percerain yang dimaksudkan  oleh pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian atas keputusan Pengadilan yang dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan istilah “cerai gugatan”,[12]dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi bahwa perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Pernikahan adalah “cerai thalaq”, yakni perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap isterinya. Untuk mendapatkan bukti otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan ke Pengadilan sekaligus untuk mengetahui alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan sebagaimana huruf c pasal 38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan menjatuhkan keputusan cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan pernikahannya atas atau berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).

Selanjutnya dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

a.       Cerai Thalaq

Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".

Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan mayoritas umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.Bahkan thalaq dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.

Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur mengenai tata cara menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik mengenai hukum formil maupun materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pernikahan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:

Suami yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129 Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami disebut pemohon dan pihak isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68 dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pihak tersebut disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan perkara Contentius dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap dianggap lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).

Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus selalu berusah untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar maksud mengadakan perceraian tidak jadi terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan Penasehat Pernikahan, Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada suami isteri tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989.Apabila pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan putusan yang isinya mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan thalaq terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap putusan ini pihak isteri boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.

Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan banding maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap).Setelah itu pengadilan menentukan hari sidang guna menyaksikan ikrar thalaq dengan memanggil para pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka persidangan).Pada saat sidang inilah suami atau wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan thalaq terhadap isterinya. Sesaat setelah ikrar thalaq diucapkan atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan penetapannya yang isinya bahwa pernikahan putus karena perceraian (thalaq) dan terhadap penetapan ini isteri tidak berhak lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7 tahun 1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70 ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun 1989).

Apabila suami tidak mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan ikatan pernikahan tetap utuh, suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana, maka pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya thalaq tersebut. Surat keterangan itu dibuat rangkap lima. Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim kepada PPN setempat dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan perceraian.Sedang helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989).

 

 

b.      Cerai Gugatan

Yang dimaksud dengan “cerai gugatan”atau “cerai gugat” adalah perceraian dengan keputusan pengadilan yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan. Undang-Undang Pernikahan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :

“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang isteri yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam”[15] Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 20 sapai dengan pasal 36.

Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya pernikahan” dan istilah “percraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya pernikahan.[16]

Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai alasan percraian adalah :

a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.

c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.

d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.

f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian adalah disebabkan karena :

a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.

c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.

d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.

f.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g.      Suami melanggar ta’lik thalaq.

h.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Berdasarkan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan pada PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa terdapat perbedaan alasan-alasan perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaan yang terjadi adalah berupa penambahan alasan perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu disebabkan suami melanggat ta’lik thalaq, dan terjadinya peralihan agama/murtad.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

3.1.Kesimpulan

Adapun yang menjadi penyebab putusnya pernikahan menurut hukum Islam adalah disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya pernikahan dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya pernikahan adalah disebabkan karena Thalaq, Khulu’, Fasakh, Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan li’an.

Sementara menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya pernikahan tersebut dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim. Perceraian yang dimaksud adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan atas Keputusan Hakim disebut dengan cerai gugatan. Di samping itu KHI juga menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan murtad juga merupakan penyebab putusnya pernikahan.

 

3.2.Saran

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki, serta minimya literatur dan bahan yang mampu dikumpulkan. Untuk itu, sangat diharapkan kritikan, saran serta sumbangan pemikiran konstruktif-edukatif untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Mohon maaf atas segala kesalahan, dan terima kasih atas segala kritikan dan sarannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khusus bagi pemakalah pribadi.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://makalahhukumislamlengap.blogspot.com/2013/12/perceraian.html

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm. 9

Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Dengan segala kerendahan dan  keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah Al-Islam tentang “Perceraian dalam Hukum Islam” ini dapat  terselesaikan.

Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yakni baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Dan Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.

Setitik harapan dari saya sebagai penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah berikutnya.

 

Banjarsari,  Januari 2015

 

Penulis

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR ..................................................................................    i

DAFTAR ISI..................................................................................................    ii

 

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................    1

1.1.  Latar Belakang ..................................................................................    1 

1.2.  Rumusan Masalah  .............................................................................    1

1.3.  Tujuan Penulisan.................................................................................    1

 

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................    2

2.1.  Putusnya Pernikahan menurut Hukum Islam.....................................    2

2.2.  Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan

  Kompilasi Hukum Islam (KHI) .........................................................   6

 

BAB III PENUTUP ......................................................................................   11

3.1.  Kesimpulan.........................................................................................   11

3.2.  Saran ..................................................................................................   11

 

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................   12

 

 

No comments:

Post a Comment