RESENSI NOVEL "RADEN AJENG KARTINI"

RESENSI NOVEL

RADEN AJENG KARTINI

 

1.      RESENSI

 

R.A. Kartini adalah salah seorang dari sekian banyak pahlawan nasional yang memiliki oleh bangsa Indonesia. Kartini merupakan tokoh pejuang wanita dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di Indonesia. Berikut ini uraian tentang perjuangan dan perjalanan hidup tokoh yang dikenal sebagai “Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan Indonesia” tersebut.

Kartini adalah anak kelima dari  orang bersaudara kandung dan tiri. Kesepuluh saudara Kartini lainnya adalah Raden Mas Sosroningrat, Pangeran Adipati Sosrobusono, Raden Ajeng Sulastri, Raden Mas Sosrokartono, Raden Ajeng Sukmini, Raden Ajeng Kardinah, Raden Ajeng Kartinah, Raden Mas Sosromuljono, Raden Ajeng Sumantri, dan Raden Mas Sosrorawito.

Keluarga R.A Kartini adalah keluarga Bupati. Selain bapaknya, Kakek Kartini yang bernama Pangeran Ario Tjondronegoro IV juga adalah Bupati Demak, pada saat itu, Pangeran Ario Tjondronegoro IV termasuk dari sedikit Bupati yang berpikiran maju, terutama dalam hal pendidikan. Pada  1846, saat belum banyak orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat, Pangeran Ario Tjondronegoro IV mendatangkan seorang guru pribadi untuk mengajar anak-anaknya. Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat menjadi Bupati pada usia 25 tahun.

Pangeran Ario Tjondronegoro IV merupakan Bupati pertama yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anaknya. Perhatiannya pada dunia pendidikan telah telah mendorong anak-anaknya memperoleh pendidikan barat. Namun sayang, saat itu pendidikan bagi kaum bumiputera masih terbatas. Oleh karena itu, Pangeran Ario Tjondronegoro IV berinisiatif untuk mendatangkan seorang guru berkebangsaan Belanda khusus untuk mendidik anak-anaknya.

 

Pendidikan R.A. Kartini

Pada 1886, ketika berumur tujh tahun, Kartini mulai bersekolah. Ia menjadi murid di Sekolah Kelas Dua Belanda di Kota Jepara. Di Sekolah tersebut, hanya anak-anak pribumi dari keluarga bangsawan, Belanda Indo, dan Belanda asli yang diterima.

Selain pengajaran ayng berkaitan dengan pendidikan duniawi, Raden Mas Adipati Ario Sostroningrat juga mendatangkan guru khusus untuk memberikan pengajaran pendidikan agama Islam. Tiap sore, Kartini dan saudara –saudaranya secara tekun belajar hurup Arab dan mengaji Al-Quran.

Pada 1989, ketika berusia 12 tahun, Kartini sudah tamat Sekolah Dasar. Kartini berharap akan melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah. Akan tetapi, hal tersebut tidak terwujud. Pada waktu itu kesempaatan mengenyam pendidikan untuk kaum perempuan terbatas, berbeda dengan kaum laki-laki.

Berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku saat itu, seorang anak gadis bangsawan yang telah berusia 12 tahun sudah dianggap dewasa. Dia tidak lagi bebas bepergian kemana-mana. Dia tidak dapat keluar rumah untuk bersekolah. Dia harus tetap di rumah dan bersiap-siap untuk menjadi ibu rumah tangga. Kebiasaan atau adat istiadat serupa itu dinamakan pingitan. Masa pingitan akan berakhir manakala seorang pria bangsawan datang meminang anak gadis tersebut untuk dijadikan seorang istri.

 

Masa Muda dalam Pingitan

Kartini seorang anak yang pintar dan suka belajar. Kartini haus akan ilmu pengetahuan. Namun, karena kebiasaan dan adat istiadat yang kolot, Kartini harus berhenti sekolah. Meskipun demikian, Kartini tidak berputus asa. Kartini tetap ingin menambah pengetahuan seperti halnya teman-temannya di sekolah.

Suatu pagi pada masa pingitan, Kartini berbicara kepada ayahnya. Kartini menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah seperti teman-teman bangsa Belanda Kartini yang semuanya meneruskan sekolah. Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjadi terharu mendengar keinginan putrinya tersebut. Dalam hati kecilnya, Sosroningrat membenarkan permintaan Kartini. Tetapi, sebagai seorang bangsawan, Sosroniongrat masih terikat pada kebiasaan dan adat istiadat. Kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku saat itu tidak membenarkan seorang gadis bertindak terlalu bebas.

Mendengar keputusan ayahnya, Kartini merasa sangat sedih. Cita-citanya untuk melanjutkan ke sekolah menengah tidak bisa terwujud. Namun demikian, Kartini juga seorang anak yang aptuh pada orangtuanya. Kartini sangat menghormati keputusan ayahnya. Oleh karena itu, meskipun dengan hati yang berat, Kartini akhirnya menerima takdir hidupnya ditentukan oleh kebiasaan dan adat istiadat semasa menjalani pingitan.

Tidak mudah bagi Kartini belia hidup dalam dunia pingitan. Ia merasa hidupn dalam kurungan. Serba trebatas dan tidak bebas. Seperti halnya seekor burung yang berada dalam sangkar emas. Salah seorang perempuan Belanda, teman Kartini di sekolah dasar yang bernama Lesty masih masih setia dan sering datang ke rumah, tetapi itu tidakl lama karena Lesty harus pulang ke Negeri Belanda mengikuti keluarganya yang dipindahkan. Keberangkatan Lesty menambah kesedihan dan kesepian hati Kartini.

Pada suatu hari seorang mantan gurunya yang berbangsa belanda di sekolah dasar mengunjungi Kartini. Ia ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Kartini karena akan pulang ke Negeri Belanda. Rupanya gurunya tersebut belum mengetahui bahwa Kartini hidup dalam pingitan. Guru itu kemudian bertanya kepada Kartini tentang rencana meneruskan ke sekolah menengah dan belaajr di Negeri Belanda.

Kartini menjawab pertanyaan mantan gurunya tersebut dengan sedih. Kartini mengatakan bahwa dirinya memang sangat ingin melanjutkan sekolah, apalagi sekolah ke Negeri Belanda. Namun, menurutnya, kebiasaan dan adat istiadat bangsanya yang berlaku saat ini tidak memperbolehkan hal tersebut. Orangtuanya menunutut Kartini tidak melanggar kebiasaan dan adat istiadat tersebut. Kartini menyadari, sebagai anak ia harus mematuhi kehendak orangtua walaupun hal tersebut sangat berat.

Karena tidaka ada tempat untuk menumpahkan perasaan dan cita-citany, Kartini kemudian bercerita kepada  kakak laki-lakinya yang bernama Sosrokartono.  Setelah mendengar paparan panjang lebar dari saudaranya itu, kemudian ia membantu cita-cita Kartini dengan cara memberikan buku-buku untuk menambah pengetahuannya.

Kartini sangat senang menerima pemberian buku-buku dari kakaknya. Kartini membaca semua buku-buku tersebut. kartini berusaha belajar sendiri secara sungguh-sungguh. Kartini yakin bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh di sekolah, tetapi juga di luar sekolah asal berusaha dengan tekun dan sungguh-sungguh.

Salah satu buku bacaan yang sangat berkesan dalam dirinya adalah Minnerbrieven karangan multatuti yang juga pengarang Max Havelaar. Dari buku tersebut Kartini mengetahui akibat buruk penindaasn Belanda terhadap Bangsa Indonesia. Buku De Vrouw en Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karangan August Bebel menyadarkan Kartini akan kodrat yang sama antara perempuan dan pria sebagai manusia.

Pada masa pingitannya, Kartini menulis artikel berjudul Van een Vergeten Uithoekje (Dari pojok yang Dilupakan) untuk membela para pengukir kayu di Jepara yang terancam kehilangan pekerjaannya pada saat itu. Dalam artikel itu, Kartini memperkenalkan ukiran kayu Jepara dan bagaimana karya seni indah itu dibuat.

Kerajinan batik juga mendapat perhatian yang besar dari Kartini. Pada 1898 di Den Haag, Belanda, diadakan pameran berbagai karya perempuan. Sebuah stand Jawa ikut serta memperkenalkan proses pembuatan batik. Kartini menulis artikel pemgantar untuk pameran tersebut, judulnya Handscrift Japari. Arikelnya tersebut kemudian dibuat sebagai pedoman tentang batik dalam buku De Batikkunst in Nederlandscj-Indie en Hare Geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya).

Raden Mas Sosroningrat menyatakan bahwa perempuan itu tidak sama derajat dan kedudukannya dengan pria. Menurutnya, perempuan sudah ditakdirkan hanya mengurus masalah-masalah rumah tangga dan melayani suami. Sementara masalah di luar itu, prialah yang akan mengurusnya. Oleh karena itu, menurut Raden Mas Sosroningrat anak perempuan tidak perlu menambah pengetahuan dengan cara bersekolah.

Kartini tentu saja tidak sependapat dengan pendapat kakaknya. Menurut Kartini perempuan sama derajatnya dengan pria. Mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk menambah pengetahuan dan bersekolah seta mengurus masalah-masalah lainnya.

Pada 1895, ketika kartinimmenginjak usia 16 tahu, kakak perempuannyaaaa yang bernama Sulastri, menikah. Namanya kemudian berganti menjadi Raden Ajeng Tjokrohadisosro. Sejak saat itu, Kartini menjadi perempuan tertua di rumah. Mulailah terasa suasana baru di rumahnya. Pergaulannya denga adaik-adiknya yang selama ini kaku, kini mulai diubah oleh Kartini.

Pada 1898, Kartini bersama dengan kedua adik perempuannya dibebaskan dari pingitan oleh orangtuanya. Mereka diperkenankan pergi ke daerah lain untuk melihat-lihat keadaan. Pada saat itu, hal seperti ini tidak akan dialami oleh gadis-gadis yang lain, apalagi gadis bangsawan. Walaupun Kartini telah mendapat banyak kebebasan dari orangtuanya, tetapi ia masih belum diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya.

Dari membaca buku-buku yang berasal dari dalam dan luar Negeri, Kartini mengetahui keadaan perempuan di Negara lain. Kartini kemudian membandingkan perkembangan perempuan di Negara lain dengan perkembangan perempuan di Indonesia. Dari hasil perbandingan tersebut, Kartini mengambil kesimpulan bahwa perempuan Indonesia belum bebas, belum dapat berdiri sendiri, dan masih tertinggal jauh. Kartini pun menyadari betapa buruknya kebijakan pemerintah jajahan dalam soal kepegawaian dan kependidikan.

Selain membaca, Kartini juga menyediakan waktu untuk menulis karangan dalam majalah dan surat kabar. Salah stu karangannya adalah tentang perkawinan suku Koja di Jepara. Karangan itu duterbitkan dalam majalah Bijdrage tot de Taat, Land an Volkenkude van Nederlandsch Indie, sebuah majalah tentang kebudayaan yang terkenal. Majalah Echo juga sering membuat tulisan Kartini tentang kebudayaan.

Kartini bercita-cita pergi ke Negeri Belanda atau Batavia untuk sekolah dokter STOVIA. Ditulisnya surat kepada Stella bahwa ia ingin pergi sekolah ke Belanda.

Pada suatu hari Kartini berkenalan dengan anggota Volksraad (DPR) Belanda bernama Van Kol. Tuan dan Nyonya Van Kol juga setuju dengan cita-cita Kartini. Tuan van Kol berusaha agar cita-cita Kartini tercapai. Pada akhir 1902, mereka mendapat janji dari Menteri Jajahan Belanda bahwa Kartini dan Rukmini diberi tugas belajar di Negeri Belanda. Namun, atas pertimbangan Tuan Abendanon yang secara  khusus datang ke Jepara pada awal 1903, tugas belajar ke negeri Belanda tersebut dibatalkan.

Akhirnya, pada 1903 bersama Rukmini, Kartini mendirikan Sekolah Kartini yang pertama di Indonesia. Sekolah Kartini tersebut khusus untuk anak perempuan dan memberikan pelajaran-pelajaran yang khusus pula untuk perempuan.

Pada Februari dan Maret 1903, Kartini jatuh sakit. Ia menderita berbagai macam penyakit, yaitu pilek, demam, sakit kepala, encok, sakit perut, dan cacar air. Orangtua dan adik-adiknya tidak meninggalkan sisi temapt tidurnya. Mereka menjaga Kartini dengan penuh kasih sayang.

Murid-murid Kartini datang empat kali seminngu. Mereka belajar menulis, membaca, menjahit, merenda, dan lain sebagainya. Mereka datang dengan mengenakan pakaian yang bersih.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, atas dorongan ayahnya, Kartini mulai menulis surat kepada teman-temannya di negeri Belanda pada 1899. Diantara teman-teman dan kenalannya yang pernah berkirim surat dengan Kartini ialah sebagai berikut.

1.      Tuan E.C. Abendanon, yang oleh Kartini dipanggil Kakak.

2.      Nona Stella H. Zeehandelaar.

3.      Nyonya M.C.E. Ovink-Soer.

4.      Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya.

5.      Nyonya H.G. de Bootij-Boussevain

6.      Tuan H.H. Van Kol dan Nyonya Nellie van Kol.

7.      Tuan J.H. Abendanon dan Nyonya Abendanon yang disebut ibu OLEH Kartini.

Ciat-cita perjuangan Kartini meliputi bidang emansipasi atau perbaikan nasib perempuan, pendidikan, dan kebangsaan.

Dalam suratnya Kartini selalu menyebutkan bahwa kemerdekaan kaum perempuan harus diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri.

Pada dasarnya Kartini berjuang untuk mengubah kedudukan perempuan. Seperti halnya pria, Kartini menghendaki perempuan diperbolehkan bekerja diluar rumah tangga. Kartini mengakui bahwa tiap perempuan harus berumah tangga. Tetapi, kaum perempuan harus mendapat pendidikan supaya mereka lebih cakap dan terampil mendidik anak-anaknya.

Sementara itu, Rukmini menikah. Hl ini membuat Kartini terpaksa mengambil langkah  untuk perjuangan selanjutnya. Ia harus mempunyai pendamping yang dapat membantu mewujudkan cita-citanya. Pendamping yang paling tepat bagi seorang gadis ialah suaminya sendiri yang mengerti akan tujuan hidupnya. Oleh karena itu, Kartini kemudian menerima lamaran dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat untuk dijadikan istri.

Pada 7 Juli 1903, ketika Kartini sedang sibuk menyiapkan pernikahannya, ia menerima surat. Isinya ialah jawaban pemerintah Hindia Belanda terhadap permohonannya untuk melanjutkan sekolah. Pemerintah Hindia Belanda mengabulkan permohonan Kartini dan menyediakan beasiswa sebesar 4.800 gulden, suatu jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu. Namun, kesempatan yang diidam-idamkannya itu datang pada saat yang tidak tepat karena Kartini akan menikah.

Kartini kemudian membuat surat balasan kepada pemerintah Hindia Belanda yang berisi ketidaksediaan dirinya menerima beasiswa tersebut dan usulan agar beasiswa itu sebaiknya diberikan kepada Agus Salim, seorang pemuda yang berasal dari Sumatra Barat. Sepengetahuan Kartini, Agus Salim adalah seorang anak yang pandai dalam Ujian Akhir HBS, ia mendapat peringkat satu. Ia bintang pelajar pada saat itu. Pada 8 November 1903, Kartini secara resmi menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat. Setelah menikah, Kartini kemudian mengikuti suaminya tinggal di Rembang.

Raden Adipati Djojoadiningrat adalah orang yangbbaik hati, penyayang, berbudi, pikrannya jernih. Ia mengerti mendukung cita-cita Kartini.

Selain mendirikan sekolah, Kartini dan suaminya bercita-cita mendirikan sekolah pertukangan untuk laki-laki. Untuk itu Kartini lalu mengumpulkan para seniman ukir yang menganggur untuk bekerja di tempatnya. Yang pandai diantara mereka, yaitu Pak Singa diangkat menjadi pemimpin. Kartini mengajukan mereka untuk membuat peti-peti jahitan, kotak rokok, meja kursi, dan sebagainya.

Setelah selesai dikerjakan barang-barang itu, dijual ke kota-kota besar, seperti Semarang dan Jakarta. Dengan cara seperti itu, ukiran Jepara mulai dikenal di luar daerah.

Usia perkawinan Kartini tidak lama. Beberapa bulan setelah menikah, ia hamil dan dalam masa kehamilan itulah ia jatuh sakit. Setelah melahirkan puteranya yang pertama, bernama Raden Mas Susalit, kesehatannya terus menurun. Pda 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usia 25 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.

Setelah Kartini meninggal dunia, surat-surat yang ditulis oleh kartini semasa hidupnya dikumpulkan oleh Tuan Abendanon. Surat-surat yang berisi pemikiran Kartini tentang pendidikan kaum perempuan dan tentang masalah lain tersebut diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis tot Licht pada 1911.

Dari uang hasil penjualan buku tersebut, dibentuk Kartini Fonds atau Dana Kartini di Den Haag, Belanda. Perhimpunan itu bertujuan untuk membantu dan memperjuangkan hak kaum perempuan Indonesia.

Kumpulan surat Kartini diterbitkan oleh Tuan Abendanon itu ditulis dalam bahasa Belanda sehingga hanya bisa dibaca oleh kalangan tyerbatas. Adapun sebagian besar perempuan Indonesia pada saat itu tidak daapt membaca buku itu karena tidak belajar bahasa Belanda. Oleh karena itu, agar surat-surat itu diketahui dan dibaca oleh kalangan luas bangsa Indonesia, bukuitu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pengarang terkenal Indonesia yang bernama Armijn Pane telah menerjemahkan kumpulan surat-surat Kartini tersebut. Buku itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta.

Karangan berharga itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Seorang pengarang Jawa, Raden Sosrosugondo menerjemahkan buku itu dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa. Pada 1950, buku itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers. Judulnya Letters of a Javanese Princess (Surat-surat dari Putri Bangsawan Jawa).

 

2.      SINOPSIS

Raden Ajeng Kartini dilahirkan pada 21 April 1879 di Desa Mayong, Jawa Tengah. Sedari kecil, Kartini memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah. Namun, semangat yang tinggi saja tidak cukup. Kartini tidak mendapat kesempatan untuk meneruskan sekolahnya, karena harus memasuki masa pingitan pada umur 12 tahun.

Kartini ingin sekali melanjutkan pendidikannya, sebagaimana kakak laki-lakinya yang dapat terus bersekolah. Pada masa pingitan, semangat Kartini untuk mencapai ilmu tidak padam. Hal tersebut terbukti dengan aktivitas Kartini dengan buku bacaannya dan surat menyurat dengan sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda. Berdasarkan hal tersebut, pemikiran Kartini mengenai perjuanganemansipasi wanita bisa terungkap.

Kartini meninggal pada tanggal 17 September 1904 pada usia 25 tahun, dan dimakamkan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.

Kartini meninggal dan meninggalkan surat yang ditulis semasa hidupnya dan dikumpulkan oleh Tuan Abendanon yang berisi tentang pendidikan kaum perempuan.

Kumpulan surat Kartini yang diterbitkan oleh Tuan Abendanon yang ditulis oleh Bahasa Belanda kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” dan diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta.

 

Comments

Popular posts from this blog

RESENSI NOVEL BAHASA SUNDA "LEMBUR SINGKUR"

MAKALAH Usaha Kecil KERIPIK PISANG (Kewirausahaan)

MAKALAH PEMBUATAN PIRING LIDI