MAKALAH EPISTEMOLOGI SAINS (ILMU)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat dalam bahasa Arab berarti
Falsafah, dan dalam bahasa Yunani Philosoia yang mempunyai arti philos adalah
cinta dan sopia adalah pengetahuan atau dalam artian philosopia adalah cinta
kepada kebijaksanaan / kebenaran.
Filsafat membawa kita kepada
pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang mempelajari tentang
epistimologi.
Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu
kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya
(sehingga disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan
identitas sebagai animal rationale. Memang untuk memperoleh
data-data dari alam nyata di butuhkan panca indera, tetapi untuk
menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menterjemahkan
satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan
sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan
mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah
yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan.
Para sophis bertanya,
seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan
objektif, seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia? Apakah kita
mempunyai pengetahuan menganai kodrat sebagaimana adanya? Sikap skeptis inilah
yang mengawali munculnya epistemologi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini yaitu ;
1. Apa
pengertian Epistemologi?
2. Apa
pengertian Ilmu (Sains)?
3. Apa yang
dimaksud dengan Epistemologi Ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Seperti halnya rumusan masalah diatas tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu;
1. Untuk
mengetahui Epistemologi.
2. Untuk
mengetahui pengertian Ilmu (Sains).
3. Untuk
mengetahui Epistemologi Ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak
mempunyai pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya
banyak sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai
pengetahuan yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda.
Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat
juga berbeda tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam
epistemologi.
Runes dalam kamusnya (1971)
menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which
investigates the origin, strcture,methods and validity of knowledge. Itulah
sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia
membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul
dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94).
Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang
dikutip Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi
atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Menurut Waryani Fajar Riyanto,
filsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut
epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang
berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang
berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh
J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud,
apa + logos = teori), ontology (teori tentang
apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.
Pembahasan epistemologi bersangkutan
dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa
pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada
dua teori. Teori pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa
pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam
alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang
asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai
dengan kenyataan.
B. Pengertian
Ilmu (Sains)
Kata “’ilm” merupakan terjemahan
dari kata “science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre”
artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.
Berikut ini beberapa devinisi
tentang ‘ilmu yang disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut
‘Abd al-Jabbar dari Mu’tazilah, ‘ilmu adalah “apa yang
menghasilkan ketenangan jiwa,kesejukan dada dan ketentraman hati”; Bazdawi dari
Maturidiyah mendevinisikan ‘ilmu sebagai “menangkap
objek ilmu sesuai dengan kenyataannya”; Jurjani, ‘ilmu adalah i’tiqah yang
pasti dan sesuai dengan realitas objek; Juwaini dan Baqilani (keduanya dari
Asy’ariyah) dan Abu Ya’la (dari Hanbaliyah) sebagai, ‘ilmu adalah
mengetahui objek ilmu sesuai realitasnya’; Ibn Hazm, ‘ilmu adalah
meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri , dan lain-lain.
Menurut Waryani Fajar
Riyanto, istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam
tradisi barat tidaklah identik. Istilah “sains” atau (science) sendiri
baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia
barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai
model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat
dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar
belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa
lain-untuk membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu
pengetahuan alam atau “ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang
pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sebagaimana yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan
pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya ,kita dapat mengetahui
bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan
ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab
ilm.
Kata science berasal
dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara
bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan
sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan
melalui intiusi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan
perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasi ,kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan
sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji, sedangkan dalam bahasa Arab,
ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang
artinya mengetahui, jadi ,ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda
dengan science yang berasal dari kata scire. Namun
,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu
melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika
(Kartanegara,2003).
C. Epistemologi
Ilmu
Sesuai dengan cakupan filsafat ilmu, maka pada bagian
ini kita pahami epistemologi ilmu ,yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan obyek ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu, dan validitas
atau cara mengukur benar tidaknya ilmu.
1.
Obyek Ilmu
Ada
orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keinginannya itu lebih mendalam.
Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya
memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna , masih
diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih juka dipanasi ,
diselidikinya pula bagaimanakah air itu ? unsur dasarkah ,atau paduan dari
beberapa unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu ? jika dipanasi memang mendidih
, apakah syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan,
serta syarat apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersebut ?
obyek air itu diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri,
sejarah membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga
untuk mengetahui yang mendalam atas suatu obyek.
Jujun
S. Suriasumantri (1994) menyatakan bahwa obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris,
yang dapat di indera. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional
yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
Sepanjang
dapat diketahui secara empiris, maka semua gejala apa saja dapat diteliti dan
apabila hasil uji cobanya meminculkan teori, kemudian teori-teori tersebut
dikelompokkan ,maka pada hakikatnya akan menjadi ilmu dan struktur ilmu, baik
cabang-cabang ilmu maupun isi masing-masing ilmu itu sendiri, obyek yang
menjadi kajian ilmu, meskipun bersifat spesifik tetapi tentulah sangat luas,
dalam hal ini dapat saja berupa alam itu sendiri maupun penghuninya seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
Seorang
ingin mengetahui jika jeruk di tanam ,apa buahnya. Ia menanam bibit
jeruk,ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa
jeruk berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut
pengetahuan sains (scientific knowledge), sebenarnya
pengetahuan sains tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan
logika juga. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh
bukti empiris. Namun pada dasarnya pengetahuan sains tetaplah suatu pengetahuan
yang berdasarkan bukti nyata (bukti empiris). Dalam
bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains ini mempunyai paradigma dan metode
tertentu ,dan paradigmanya dapat disebut paradigma positif (positifistic
paradigma) dan metodenya di sebut metode ilmiah (scientific
method).
2.
Cara Memperoleh Ilmu
Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai
berikut :
a.
Menggunakan akal
Mengapa
manusia dalam mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan perlu menggunakan akal ?
setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa akal dipergunakan untuk
mendapatkan ilmu, yakni sebagai berikut :
1)
Akal telah dianggap mampu untuk mendapatkan ilmu, dan
telah terbukti sepanjang sejarah perkembangan manusia sekaligus perkembangan
ilmu pengetahuan.
Akal atau rasionalitas menempati posisi yang tinggi
dalam etika Islam. Nashiruddin al-Thusi menyebut akal sebagai kesempurnaan
atau kamaliyah (entelechy) manusia. Pada akallah terletak
esensi manusia yang membedakannya dari jenis hewan lainnya, bagi mereka. Akal
mempunyai kecakapan kognitif sehingga mampu menyerap entias-entias ma’kulat (rohani)
membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang
tercela, dan antara yang benar dan yang salah.
2)
2Akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan
yang sama , yakni berupa logika. Termasuk dalam kaitan ini, maka dalam filsafat
lahirlah rasionalisme yang berpandangan bahwa akal itulah alat pencari dan
pengukur pengetahuan. Bila logis ,maka benar, bila tidak logis maka tentu
salah, yang selanjutnya perlu dicari dimana letak ketidak sesuaiannya.
Orang-
orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh
pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi aliran ini
kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat indera tadi,
dapat dikoreksi seandainya akal di gunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil
karena bayangannya yang jatuh dimata kecil, kecil karena jauh. Gula pahit bagi
orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak normal. Fatamorgana
adalah gejala alam, begitulah seterusnya.
Karena pada kenyataannya seringkali hasil simpulan
akal pada hal-hal tertentu juga tidak akurat ,mengingat keterbatasannya, sehingga
diperlukan alat lain.
b.
Berdasarkan empirik
Untuk
mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan bukti empirik,
bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio orang awam
susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat dibuktikan
. misalnya dalam perut seseorang setelah di operasi terdapat benda logam bahkan
tajam. Oleh ahlinya kejadian demikian dapat dijelaskan secara rasio, dan oleh
orang yang mau memikirkannya dapat menerima karena masuk akal. Tetapi tetap
susah bagi orang awam dan yang tidak mau menelusuri atau mempelajari lebih
lanjut.
c.
Terukur
Mengingat
empirik baru pada batasan umum,yakni menyangkut misalnya : besar, sedang, dan
kecil, atau dingin, hangat, dan panas. Pada pengkategorian tersebut belum ada
ukuran seberapa besar dan panasnya. Untuk itu tentu diperlukan ukurannya,
berapa drajat panasnya, berapa mili meter besarnya, dan sebagainya. Inilah
sumbangan aliran positivisme yang menyatakan: ajukan logikanya, ajukan bukti
empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana cara mengukurnya agar didapat
simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati ?.
Tokoh aliran
ini ialah August Compte (1798-1857). Ia penganut empirisisme. Ia berpendapat
bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi
harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan
ukuran-ukuran yang jelas. Panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur
dengan meteran, berat di ukur dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan
sebagainya.
Kita tidak
cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketika panas, kita juga
tidak cukup mengatakan panas sekali, panas ,tidak panas, kita memerlukan ukuran
yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar di mulai. Kebenaran
diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris
yang terukur “Terukur” itulah sumbangan positivisme.
d.
Metode ilmiah
Metode
ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar ,maka sekali lagi di
tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif, yang
berarti :buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut secara
empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh bidang
ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan
model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah
yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.
3.
Mengukur Kebenaran Ilmu
Bila kita hendak mengukur kebenaran
ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah
teori-teori. Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis
diuji secara logika,contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan
masyarakat Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”.
Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),hipotesis ini
lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan
untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri
akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional,
dan luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan
peninjauan ke pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang
perkembangan harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau
pengalaman lapangan menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan
empirik benar adanya, kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada
setiap moment idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita
rumuskan hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga
kelanjutannya tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan.
Sebagai analisa dari makalah
ini, Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan bahwa pengetahuan
manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan
pengetahuan mistik, pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan
dengan menggunakan berbagai alat. Tiga macam pengetahuan manusia ,masing-masing
jelas paradigmanya, metodenya, dan objeknya ,jadi jelas bedanya dan jelas
kaplingnya. Tabel pengetahuan manusia berikut bermaksud meringkaskan
pengetahuan itu.
Pengetahuan
Manusia
Macam
pengetahuan |
Objek |
Paradigma |
Metode |
Ukuran |
Sains Filsafat Mistik |
Empiris Abstrak logis Abstrak Supralogis |
Positivisme Logis Mistis |
Sains Rasio Latihan Mistik |
Logis dan empiris Logis Rasa, yakin, kadang-kadang empiris |
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan
dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat
yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud,
apa + logos = teori), ontology (teori tentang
apa).
Epistemologi
membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan.
ilmu secara harfiah tidak terlalu
berbeda dengan science yang berasal dari kata scire.
Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu
melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika.
Obyek kajian ilmu hanyalah obyek
yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang
empiris, yang dapat di indera. Tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
a) Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c) Terukur, d)
Metode ilmiah.
Bila kita hendak mengukur kebenaran
ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah
teori-teori.
B. Saran
Hendaknya
setiap mahasiswa dan praktisi pendidikan
mengetahui dan menerapkan epistemologi sains, agar dapat menumbuhkan sikap berpikir kritis sesuai
dengan kaidah ilmiah dan mengerti cara mendapatkan ilmu dengan
benar.
Comments
Post a Comment