MAKALAH KERAJAAN TENTANG MALAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesultanan
Malaka merupakan kerajaan islam kedua di Asia Tenggara. Kesultanan ini berdiri
pada awal abad ke- 15 M. Kerajaan ini
cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan
perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Sejauh menyangkut
penyebaran Islam di Tanah Melayu, peranan Kesultanan Malaka sama sekali tidak
dapat dikesampingkan dalam proses islamisasi, karena konversi Melayu terjadi
terutama selama periode Kesultanan Malaka pada abad ke- 15 M.
Kerajaan Malaka
didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari
Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama
Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera yang runtuh akibat
diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli
dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga
puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki
tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil
mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli tersebut,
rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain
menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga
mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal
sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal berdirinya Kesultanan Malaka
pada tahun 1402 ?
2. Bagaimana politik dan kepemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan
Malaka?
3. Bagaimana eksisitensi Kesultanan
Malaka dalam menyebarkan Islam ke Nusantara?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui awal
berdirinya Kesultanan Malaka.
2.
Untuk
mengetahui politik
pemerintahan yang dilakukan oleh Kesultanan Malaka dalam menjalankan roda
kepemerintahannya.
3.
Untuk
mengetahui eksistensi
Kesultanan Malaka dalam menyebarkan islam ke Nusantara.
4.
Untuk
mengetahui kehidupan sosial ,ekonomi, dan budaya nya
D.
Manfaat
1.
Sebagai sumber informasi dan pengetahuan atas berdirinya Kesultanan Malaka di Nusantara dan
dampak terhadap proses islamisasi yang dilakukan.
2.
Sebagai motivasi untuk melanjutkan
perjuangan bangsa di masa sekarang dan selanjutnya dalam bentuk yang berbeda.
3.
Sebagai suatu pengalaman bangsa atas kejayaan di masa lampau.
E.
Metode
Adapun metode yang
dilakukan adalah dengan mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan “Kesultanan Malaka” , kemudian mencari
informasi dari media cetak maupun media elektronik, semisal koran, televisi,
internet dll.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal
Pendirian Kesultanan Malaka
Pembentukan
negara Malaka disinyalir ada kaitannya dengan perang saudara di Majapahit
setelah Hayam Wuruk (1360-89 M) meninggal dunia. Sewaktu perang saudara tersebut,
Parameswara, Putra raja Sriwijaya – Palembang turut terlibat karena ia menikah
dengan salah seorang putri Majapahit. Parameswara kalah dalam perang tersebut
dan melarikan diri ke Tumasik (sekarang
Singapura) yang berada di bawah pemerintahan Siam saat itu. Beliau membunuh
penguasa Tumasik, yang
bernama Temagi dan kemudian menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Persoalan
ini diketahui oleh Kerajaan Siam dan memutuskan untuk menuntut balas atas
kematian Temagi. Parameswara dan pengikutnya mengundurkan diri ke Muar dan
akhirnya sampai di Malaka lalu membuka sebuah kerajaan baru di sana pada tahun
1402 M. Menurut versi ini, kedatangan islam ke Malaka terjadi tahun 1406 M, ketika
Parameswara menganut Islam dan mengganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah.
Pengislamannya diikuti oleh pembesar-pembesar istana dan rakyat jelata. Dengan
demikian Islam mulai tersebar di Malaka. Parameswara (Muhammad Iskandar Syah)
memerintah selama 12 tahun. Baginda
mendapati Malaka sebagai sebuah kampung dan meninggalkannya sebagai sebuah kota
serta pusat perdagangan terpenting di Selat Malaka, sehingga orang-orang Arab
menggelarinya
sebagai malakat
(perhimpunan segala pedagang). Kitab sejarah melayu (The Malay Annals), turun
menceritakan bahwa raja Malaka, Megat Iskandar Syah, adalah orang pertama di
kesultanan itu yang memeluk agama Islam. Selanjutnya ia memerintahkan segenap
warganya baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah untuk menjadi Muslim.
B.
Periode Pemerintahan
Raja/Sultan
yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:
1. Parameswara yang bergelar
Muhammad Iskandar Syah (1402—1414)
2. Megat Iskandar Syah (1414—1424)
3. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4. Sri Parameswara Dewa
Syah (1444—1445)
5. Sultan Mudzaffar Syah (1445—1459)
6. Sultan Mansur Syah (1459—1477)
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488)
8. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)
Setelah
Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah
pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri
Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Pada tahun 1414 Parameswara wafat dan
digantikan putranya, Megat Iskandar Syah. Ia memerintah selama 10 tahun, dan
kemudian digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya adalah Raja Ibrahim (Sri Parameswara Dewa Syah) yang tidak menganut Islam. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan
Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka V.
Di bawah
pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung
Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Di kemudian hari
secara politik, Kesultanan Malaka membangun hubungan yang baik namun hati-hati
dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa
pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur
Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya
negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi, Siak dan kepulauan Riau-Lingga
juga takluk.
Dengan demikian
Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi
perdagangan emas di hampir seluruh semenanjung Melayu.
Mansur Syah
berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin
Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
C.
Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama
Islam
Sebelum muncul
dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama
mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan antara Laut Merah
dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada
perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan
mereka di kawasan timur semakin besar.
Pada abad VIII,
para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan,
pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang
Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute
perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil
pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah
dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin
banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi
sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami kemajuan.
Sebagai salah
satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para
pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam
perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam
pada tahun 1406M. Dengan
masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di
Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Salatus
Salatin, juga merekam
dengan baik peristiwa ini dan menceritakan bagaimana proses konversi Islam yang
dialami Sultan Iskandar Muhammad Syah, di mana Rasulullah hadir dalam mimpinya
dan mengajarkannya mengucap syahadat. Kedatangan seorang makhdum dari Jeddah
yang bernama Syed Abdul Azis yang diberitakan dalam mimpinya, dikisahkan
keesokan harinya menjadi kenyataan. Dari Syed inilah Sultan Iskandar Muhammad
Syah dan rakyatnya mendalami Islam. Di negara Malaka yang terkenal sebagai
pusat perdagangan Internasional, para sultan turut mendukung proses islamisasi,
dengan turut meningkatkan pemahaman terhadap Islam dan berpatisipasi dalam
pengembangan Islam. Pemerintah memberikan kontribusi yang besar dalam
mensukseskan kegiatan dakwah. Sultan Malaka yang lebih dulu menganut islam misalnya,
dilukiskan oleh Tome Pires – sebagaimana dikutip oleh A.C. Milner –
sebagai orang yang telah mengajarkan pengetahuan agama Islam kepada para raja dari negara-
negara Melayu lainnya karena pengetahuannya yang luas tentang agama islam.
Selain itu, para sultan Malaka – mulai dari sultan yang pertama – begitu juga
para pejabat pemerintah sangat berminat terhadap ajaran Islam. Banyak di antara
mereka yang berguru kepada ulama- ulama yang terkenal. Sebagai contoh, sejarah
melayu menyebutkan Sultan Muhammad Syah berguru kepada Maulana Abdul Azis,
Sultan Mansur Syah berguru kepada Kadi Yusuf dan Maulana Abu Bakar. Sementara
Sultan Mahmud Syah, Bendara Seri Maharaja, Megat Seri Rama dan Tunai Mai Ulat
Bulu berguru kepada Sadr Johan, begitu juga Sultan Ahmad yang belajar ilmu
tasawuf kepadanya. Kaum ulama saat itu sangat dihormati dan dihargai. Kadi dan
ahli fikih mempunyai kedudukan yang sama dengan pembesar negara yang lain.
Sebagai ilustrasi, Wahid mengemukakan contoh menarik mengenai status tinggi
yang dinikmati oleh para kadi dan sarjana Muslim ini. Katanya, seorang guru
agama dari Arab, bernama Makhdum Sadr Johan, bisa menolak untuk mengajar
penguasa Malaka, Sultan Mahmud Syah, ketika yang terahir ini menandatangi ruang
kelasnya dengan menunggang seekor gajah. Hal yang sama juga terjadi pada
Menteri Kepala (Bendahara), ketika yang terakhir ini datang ke kelasnya sambil
minum. Penguasa Malaka yang lain, Sultan Mansur Syah, dikisahkan konon telah
mencari nasihat keagamaan dari Makhdum Patajkan, sufi ‘alim yang sangat
terkenal dari Pasai. Ini semua menunjukkan betapa para ulama dihormati dan
dihargai. Selain turut mendalami ajaran islam, para sultan juga diceritakan
turut meningkatkan syiar islam. Sejarah Melayu menceritakan bahwa Ramadhan,
Sultan bersama pembesar istana turut berangkat ke mesjid melaksanakan shalat
tarawih, di mana kala itu mesjid menjadi tumpuan umat islam terutama pada bulan
Ramadhan. Respon sultan dan rakyat Malaka yang antusias terhadap kedatangan
agama islam, pada gilirannya turut pula mengangkat posisi Malaka sebagai pusat
kegiatan dakwah. Selain rakyatnya menyebarkan dakwah ke luar negeri, banyak
pula orang luar yang datang ke Malaka untuk menuntut ilmu. Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga, dua ulama dari jawa yang begitu terkenal sebelumnya, menamatkan
pengajiannya di Malaka. Adalah melalui kekuasaan kerajaan Malaka, Islamisasi
kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka menjadi salah satu pusat kunci dari
mana islam berkembang dari sepanjang pesisir ke wilayah- wilayah seperti
kepulauan Sulu di Filipina. Agaknya, luasnya pengaruh, kekuatan ekonomi dan
kejayaan Malaka telah memungkinkannya – sampai derajat tertentu – menjadi pusat
Islam pada saat itu. Kejayaan dan pengaruh Malaka yang begitu besar ini diakui
oleh Tome Pires yang ada pada awal abad ke- 16, mencatat bahwa “Malaka
begitu penting dan menguntungkan sehingga tampak bagi saya bahwa ia tidak ada
tandingannya di dunia”. Selain itu, Sejarah Melayu seperti halnya laporan dari
sumber- sumber Portugis maupun Cina, juga membicarakan dengan penuh semangat,
walaupun dengan agak berlebihan, mengenai kejayaan dan keluasan pengarih dan
kekuatan ekonomi Malaka, suatu pengaruh yang hanya dapat diimbangi oleh
kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa. Malaka tidak hanya menguasai beberapa
kerajaan yang telah masuk Islam seperi Aru, Pedir, dan Lambri, tetapi juga
menguasai daerah- daerah baru di Sumatera yang juga telah masuk Islam seperti
Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, Bengkalis, dan Lingga. Di samping itu, di
Semenanjung Malaya, daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor, serta daerah
lain yang telah menerima Islam juga mengakui kekuasaan kerajaan Malaka. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam telah menjadi unsur penting yang tidak
terpisahkan dari kehidupan Malaka, pusat kunci dari mana Islam menyebar ke
seluruh bagian lain di Nusantara. Sebagai pusat pengajian Islam, Malaka begitu
peka terhadap perkembangan Islam. Langkah para sultan yang menitikberatkan pada
pelayanan terhadap alim ulama memungkinkan Islam berkembang pesat. Sementara
itu, Islam yang mempunyai dasar filosofis dan rasional yang kuat, mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan Melayu. Dalam kehidupan sehari- hari, ajaran Islam dan
nilai yang konsisten dengan Islam, menjadi sumber penuntun hidup yang penting
bagi Melayu.
Selanjutnya,
Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara,
hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477).
Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam.
Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama
Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan
antarkeluarga.
Malaka juga
banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di
Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa,
secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah
Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat,
Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).
D.
Kehancuran
Mahmud Syah
memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang
pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud
Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun
1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke
Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Usia Malaka ternyata cukup pendek,
hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang
dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini
dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu
segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau,
Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah,
dari dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah
yang memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu.
E.
Kehidupan
Politik Malaka
Dalam
menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut
paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang
dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan
melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk
menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu
itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian
menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut
dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang
putri Majapahit.
Sultan-sultan
yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan
politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah
(1459—1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga
menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu,
hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada
tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali
persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak
berani menyerang Malaka.
Pada tahun
1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan
menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di
Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini
merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan
baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah
dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda
beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas,
2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen,
dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan
diperhitungkan.
Di masa Sultan
Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo
dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini,
Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke
negeri China untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini
tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring.
Dalam
pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki
semboyan berikut.
1.
Esa hilang dua terbilang
2.
Tak Melayu hilang di bumi.
3.
Tuah sakti hamba negeri.
Laksamana yang
kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini
adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban
tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina. Hingga saat
ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi
mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di
Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
F.
Kehidupan
Ekonomi
Sejak Kerajaan Malaka berkuasa,
jalur perdagangan internasional yang melalui Selat Malaka semakin ramai.
Bersamaan dengan melemahnya kekuatan Majapahit dan Samudera Pasai, kerajaan
Malaka tidak memiliki persaingan dalam perdagangan. Tidak adanya saingan di
wilayah tersebut, mendorong kerajaan Malaka membuat aturan-aturan bagi kapal
yang sedang melintasi dan berlabuh di Semenanjung Malaka. Aturan tersebut
adalah diberlakukan pajak bea cukai untuk setiap barang yang datang dari
wilayah barat (luar negeri) sebesar 6% dan upeti untuk pedagang yang berasal
dari wilayah Timur (dalam negeri). Tingkat keorganisasian pelabuhan
ditingkatkan dengan membuat peraturan tentang syarat-syarat kapal yang
berlabuh, kewajiban melaporkan nama jabatan dan tanggung jawab bagi kapal-kapal
yang sedang berlabuh, dan sebagainya.
Raja dan pejabat kerajaan turut
serta dalam perdagangan dengan memiliki kapal dan awak-awaknya. Kapal tersebut
disewakan kepada pedagang yang hendak menjual barangnya ke luar negeri. Selain
peraturan-peraturan tentang perdagangan, kerajaan Malaka memberlakukan bahasa
Melayu sebagai bahasa resmi dalam perdagangan dan diplomatik.
G.
Kehidupan
Sosial
Dalam pemerintahannya, raja menunjuk
seorang patih untuk mengurusi kerajaan, dari patih diteruskan kepada bawahannya
yang terdiri dari bupati, tumenggung, bendahara raja, dan seterusnya.
Masalah perpajakan diurus seorang
tumenggung yang menguasai wilayah tertentu, urusan perdagangan laut diurus oleh
syahbandar dan urusan perkapalan diurus oleh laksamana. Kekayaan para raja dan
pejabat kerajaan semakin bertambah akibat dari penarikan upeti dan usaha
menyewakan kapal. Uang yang didapat dipakai untuk membangun istana kerajaan,
membuat mesjid, memperluas pelabuhan, dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
yang cenderung mewah. Gejala timbulnya kecemburuan sosial disebabkan oleh
dominasi para bangsawan dan pedagang dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah
yang menjadi penyebab lemahnya Kerajaan Malaka.
H. Kebudayaan Malaka
Pada
kehidupan budaya, perkembangan seni sastra Melayu mengalami perkembangan yang
pesat seperti munculnya karya-karya sastra yang menggambarkan tokoh-tokoh
kepahlawanan dari Kerajaan Malaka seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Lekir
dan Hikayat Hang Jebat.
Perkembangan
seni sastra Indonesia pada zaman Islam pada umumnya berkembang di daerah-daerah
Malaka (Melayu) dan Pulau Jawa. Peninggalan karya sastra Islam ini dapat
dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1.
Hikayat
Hijayat
adalah hasil karya sastra yang pada prinsipnya sama seperti dongeng, namun
hikayat bercorak Islam. Secara sederhana kita dapat membuat definisi hikayat
bahwa hikayat adalah dongeng khusus agama Islam. Contoh hikayat yang terkenal
antara lain: Hikayat Raja-raja Pasai yang menceritakan sejarah berdirinya
Kerajaan Samudera Pasai, Hikayat Kepahlawanan Hang Tuah, dan Hikayat Amir
Hamzah yang menceritakan perlawanan Amir Hamzah melawan raja kafir yang bernama
Nursewan.
2.
Suluk
Suluk adalah karya sastra yang berisi tentang tasawuf
mengenai keesaan dan keberadaan Allah SWT. Contoh suluk adalah Suluk Wujil
karya Sunan Bonang yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada Wujil abdinya yang
mencari keluhuran budi meski tubuhnya khas. Contoh suluk berikutnya adalah
Suluk Sukarsa yang menceritakan tentang seseorang bernama Sukarsa yang sedang
mencari ilmu sejati untuk mendapatkan kesempurnaan hidup.
3. Syair
Syair adalah puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri dari
4 baris yang berakhir dengan bunyi yang sama. Contoh syair yang terkenal antara
lain: Syair Perahu, Syair Si Burung Pingai, Syair Abdul Muluk dan lain-lain.
Syair saat ini berkembang dan digunakan dalam lagu-lagu populer modern yang
dibawakan oleh musisi yang memiliki kepedulian terhadap budaya Melayu. Aliran
musik yang menggunakan syair antara lain dangdut dan pop Melayu.
3.
Riwayat dan Nasihat
Apakah yang dimaksud dengan riwayat? Apa pula bedanya dengan
nasihat? Pada dasarnya, kedua jenis sastra Islam tersebut memuat nilai-nilai
yang sama. Riwayat dan nasihat adalah jenis sastra Islam yang mengisahkan
kehidupan para Nabi beserta nasihat-nasihatnya. Setiap kisah nabi memiliki
pelajaran hidup yang berharga untuk diteladani oleh manusia saat ini.
Contoh riwayat adalah Kitab Manik Maya yang berisi tentang
penciptaan dunia. Contoh karya
sastra Islam
riwayat yang terkenal adalah Kitab Bustanussalatin karya Ar-Raniri. Kitab
Bustanussalatin berisi tentang kisah penciptaan bumi, masalah agama dan hukum
dalam Islam, dan riwayat nabi-nabi sejak jaman Nabi Adam as hingga Nabi
Muhammad SAW. Kisah raja-raja Islam di India, Malaka, Pahang dan Aceh sering
diabadikan dalam bentuk karya sastra riwaya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, Kesultanan
Malaka (1402-1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara,
seorang putra Melayu dari silsilah raja-raja Sriwijaya. Parameswara sendiri
sebelumnya adalah Raja di Tumasik (Singapura) yang pada tahun 1401 mengungsi ke
Utara (Melaka) akibat serangan Majapahit. Dan untuk memperkuat kerajaan barunya
ia melakukan beberapa keputusan penting diantaranya melakukan perjanjian dengan
kerajaan Ming dari Cina pada tahun 1403. Sebagai balasan upeti yang diberikan,
Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru
tersebut terutama dari serangan Majapahit dan Siam.
Disamping itu
Parameswara menikahi putri Pasai, sehingga menambah kokoh kerajaan baik secara
militer maupun ekonomi. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409
menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, raja dan rakyat
Melaka sudah menjadi muslim. Di bawah Parameswara, Kesultanan Malaka menjadi
menjadi kerajaan yang makmur ditambah dengan kekuatan militernya yang semakin
berkembang. Adapun Panglima tertinggi yang ditunjuk adalah
Panglima Tuan Junjungan serta si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning.
Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana angkatan laut yang 'berjaya' bernama Hang
Tuah yang terkenal dengan sumpahnya, "Ta' Melayu Hilang
di-Dunia"
Pada tahun 1414
Parameswara wafat dan digantikan putranya, Megat Iskandar Syah. Ia memerintah
selama 10 tahun, dan kemudian digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad
Syah yang kemudian menggantikannya adalah Raja Ibrahim. Namun masa
pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445.
Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan
Mudzaffar Syah atau Sultan Malaka V.
Di bawah
pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung
Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Di kemudian hari
secara politik, Kesultanan Malaka membangun hubungan yang baik namun hati-hati
dengan Jawa (Majapahit) maupun Siam.
Pada masa
pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur
Syah (Sultan Malaka VI), Malaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya
negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi, Siak dan kepulauan
Riau-Lingga juga takluk.
Dengan demikian
Malaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Jatuhnya Siak dibawah pengaruh Malaka mengakibatkan Malaka dapat mempengaruhi
perdagangan emas di hampir seluruh semenanjung Melayu. Mansur Syah berkuasa
sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah.
Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh
putranya Sultan Mahmud Syah.
Mahmud Syah
memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang
pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah
melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar,
tempat dia wafat dua tahun kemudian..
B.
Kritik
dan Saran
Mungkin dalam
pembuatan makalah yang kami buat banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu
penulis bersedia menerima saran maupun kritik demi perbaikan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
(1) Sejarah Nasional Indonesia III. Marwati Djoened
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Balai Pustaka. Edisi Pemuktakhiran.
2008.
(2) http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Malaka
(3) http://id.wikipedia.org/wiki/Hang_Tuah
(2) http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Malaka
(3) http://id.wikipedia.org/wiki/Hang_Tuah
Comments
Post a Comment