MAKALAH PERCERAIAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perceraian
merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya pernikahan
terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang
pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari
kehidupan bersamasuami isteri tersebut.Setiap orang menghendaki agar pernikahan
yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit
pula pernikahan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah
perceraian. Tidak selalu pernikahan yang dilaksanakan itu sesuai dengan
cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara
baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk
membubarkan pernikahan.
Islam
telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi
suami isteri supaya pernikahan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam
memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang
hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat
diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun
perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci
perceraian tersebut.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
perceraian/putusnya pernikahan menurut hukum islam?
2.
Bagaimana Putusnya Pernikahan
Menurut Undang-Undang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
:
1.
Untuk mengetahui tetang
perceraian/putusnya pernikahan menurut hukum islam.
2. Untuk
mengetahui tentang Putusnya Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Putusnya Pernikahan
Menurut Hukum Islam
Menurut
hukum Islam, pernikahan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain
karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus
dengan sendirinya (karena kematian). Di dalam makalah ini, putusnya pernikahan
karena kematian tidak akan penulis uraikan lebih lanjut karena putusnya pernikahan
disebabkan kematian dapat dimaklumi karena merupakan kehendak Allah SWT.
Adapun
yang menyebabkan putusnya pernikahan sebagaimana yang penulis sebutkan di atas
adalah sebagai berikut:
a. Putusnya
Pernikahan Karena Thalaq.
Kata Thalaq diambil
dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan atau secara harfiah
berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk
menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah pernikahan. Meskipun Islam
memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun
hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.
Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:
الطلاق : حل
الو ثاقمشتق من
الاطلاق وهو الارسالوالترك
“Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang
diambil dari kata ithlaq yaitu melepaskan, menanggalkan”
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily, Thalaq ialah :
الطلاق لغة
حل القيد والاطلاق
“Thalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau
melepaskan”.
Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq
itu dapat dipahami sebagai berikut :
“Thalaq menurut istilah syarak ialah melepaskan
ikatan pernikahan atau bubarnya hubungan pernikahan”
Maksudnya ialah bahwa
ikatan pernikahan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami isteri dalam
rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya.
Memperhatikan beberapa
pengertian Thalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thalaq adalah melepaskan atau mengakhiri
ikatan pernikahan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara
yang ditetapkan.
Setelah ikatan pernikahan
itu diangkat atau dilepaskan maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal
ini terjadi bila suami melaksanakan thalaq ba’in. Tapi apabila suami
melaksanakan thalaq raj’i maka hak thalaq berkurang bagi suami, yang pada
awalnya suami memiliki hak menjatuhkan thalaq tiga kali, maka sekarang menjadi
dua dan menjadi satu. Dengan kata lain thalaqraj’i adalah mengurangi pelepasan
ikatan pernikahan.
Islam menentukan bahwa
thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan suami.Dengan demikian
menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya
kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'I sebagai berikut:
عن أبي هريرة
رضي الله عنه أن
رسول الله صلى
الله عليه وسلم
قال ثلاث جدهن
جد وهزلهن جد النكاح
والطلاق والرجعة
(رواه الأربعة
إلا النسائي وصححه
الحاكم)
"Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara
sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main
menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan
oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim).
Hal-hal yang menyebabkan
suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan thalaq kepada isterinya adalah
karena suami diberi beban membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah isteri dan
anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya
selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya tidak mudah
terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan senantiasa
mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya.Berbeda dengan wanita yang
sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut, termasuk
kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri
maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil
saja dapat menyebabkan isteri
menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.
b. Putunya
pernikahan karena Khulu’
Khulu’ berasal dari
kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada
badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga
sebaliknya.[8] Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat
187.
Sama dengan hak yang
diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri juga dapat
menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka
isteri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang
sekiranya tidak patut baginya.
Khulu’ adalah salah
satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan
akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadhatau uang pengganti kepada
suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai
dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya.
Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti
rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah
yang disyaratkan suami.
Perceraian yang
disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in. Maka bila suami telah
melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada isteri
sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang telah dibayarkannya.
Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka
suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c. Putusnya
pernikahan karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa
berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun pengertian fasakhmenurut istilah
adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang
menghalangi kelestarian hubungan suami isteri.[10]Thalaq adalah hak suami,
khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila
sebab fasakhada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga
sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk
fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan
keputusan tentang berlangsungnya pernikahan, atau terjadinya perceraian karena
itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yng
lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim
yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul
apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa
tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama sebagai seorang suami
atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi sanggup
melanjutkan pernikahan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan
tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh
adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak
fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih
banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
d. Putusnya
pernikahan karena Li’an
Li’an secara etimologi
berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah sumpah yang
diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah
dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan
pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima
laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an
kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh
melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan
demikian dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknati oleh
Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh
diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu
pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak
mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri,
dan pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak
memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.
e. Putusnya
pernikahan karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah
perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka
diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah
fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya
mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini
berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa : 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisa : 35)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
bila keutuhan rumah tangga suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak
mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak.
Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar
ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak
berhasil mendamaikannya.
f.
Putusnya pernikahan
karena Ila’
Ila’ialah bersumpah
untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah
perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum pernikahan mereka, yakni suami
bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan
selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan
ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya
tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran,
surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1) Suami
yang meng-ila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2) Kalau
batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau
menthalaqnya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan
hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau
kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam
hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat
89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan,
yaitu:
1) Memberi
makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan
untuk keluarga kamu, atau
2)
Memberikan pakaian
kepada sepuluh orang miskin, atau
3)
Memerdekakan seorang
budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
4)
Hendaklah kamu berpuasa
tiga hari.
g. Putusnya
pernikahan karena Zihar
Salah satu perceraian
antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya
yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan
dengan ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman
jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan
isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah
diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam zhihar itu tidak lagi dibenarkan,
karena menzhihar isteri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan
perkataan dusta dan mungkar. Suami yang terlanjur menzhihar isterinya agar
menarik kembali zhihar-nya dengan diwajibkan membayar kafarat(denda) dengan
memerdekakan seorang budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika suami
tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut,
dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin.
2.2.Putusnya Pernikahan
Menurut Undang-Undang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Berlakunya Undang-Undang Pernikahan
secara efektif yaitu :
UU
No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti
bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum
positif untuk pernikahan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan,
termasuk perceraian atau putusnya pernikahan. Oleh karena itu, “bagi orang
Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya
sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu, maupun Budha”.
Khusus
tentang putusnya pernikahan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Pernikahan
dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan
Pengadilan. Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan. Bahwa di antara suami isteri tersebut tidak
dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3. Tatacara Perceraian di depan Sidang
Pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersndiri”.
Selanjutnya untuk
membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974
dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat pada poin
c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut
:
“Peraturan
Pemerintah ini menggunakan istilah “cerai Thalaq” untuk membedakan pengertian
percerain yang dimaksudkan oleh pasal 38
huruf b dengan pengertian perceraian atas keputusan Pengadilan yang dimaksud
pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan istilah “cerai
gugatan”,[12]dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi
bahwa perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Pernikahan adalah
“cerai thalaq”, yakni perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap
isterinya. Untuk mendapatkan bukti otentik perceraian thalaq tersebut perlu
diajukan ke Pengadilan sekaligus untuk mengetahui alasan-alasan yang
memungkinkan untuk itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan sebagaimana
huruf c pasal 38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan
menjatuhkan keputusan cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan pernikahannya
atas atau berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).
Selanjutnya
dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai dengan
ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a. Cerai
Thalaq
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai
sekarang masih belum dapat diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia,
adalah ketentuan yang terdapat pada pasal 115, yaitu: "Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang
menjadi rujukan mayoritas umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti
itu.Bahkan thalaq dengan sindiran saja di luar Pengadilan Agama juga dianggap
telah jatuh.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga
diatur mengenai tata cara menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari
ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik mengenai hukum formil maupun
materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang pernikahan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan isterinya mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129
Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi
surat itu dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami
isteri tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak
suami disebut pemohon dan pihak isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 15, undang-undang nomor 7
tahun 1989 pasal 68 dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian
pihak tersebut disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan perkara
Contentius dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap
dianggap lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).
Dalam setiap kesempatan
sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus selalu berusah untuk mendamaikan
suami isteri dan berusaha agar maksud mengadakan perceraian tidak jadi
terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan
kepada orang yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4
(Badan Penasehat Pernikahan, Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain
untuk memberi nasehat kepada suami isteri tersebut. Hal ini diatur dalam pasal
82 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989.Apabila pengadilan telah
berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah
cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan putusan yang
isinya mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu memberi izin kepada pemohon untuk
mengikrarkan thalaq terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap putusan ini
pihak isteri boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah
tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan banding maka
putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap).Setelah
itu pengadilan menentukan hari sidang guna menyaksikan ikrar thalaq dengan
memanggil para pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka
persidangan).Pada saat sidang inilah suami atau wakilnya diperbolehkan untuk
mengikrarkan thalaq terhadap isterinya. Sesaat setelah ikrar thalaq diucapkan
atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan penetapannya yang isinya bahwa pernikahan
putus karena perceraian (thalaq) dan terhadap penetapan ini isteri tidak berhak
lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7
tahun 1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi
tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau
wakilnya dapat mengucapkan ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya
(Pasal 70 ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun 1989).
Apabila suami tidak
mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak putusan pengadilan
agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka gugur
kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan ikatan pernikahan tetap
utuh, suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alasan yang sama
(pasal 70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal
ini terlaksana, maka pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya thalaq
tersebut. Surat keterangan itu dibuat rangkap lima. Helai pertama disimpan di
pengadilan, helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim kepada PPN setempat
dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan perceraian.Sedang
helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU No.
7 tahun 1989).
b. Cerai
Gugatan
Yang dimaksud dengan
“cerai gugatan”atau “cerai gugat” adalah perceraian dengan keputusan pengadilan
yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada
pengadilan. Undang-Undang Pernikahan menyatakan bahwa gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian
dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan pernikahan
menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang isteri yang
melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama
Islam”[15] Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP.
No. 9 Tahun 1975 pasal 20 sapai dengan pasal 36.
Berkenaan dengan
perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya
dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya pernikahan”
dan istilah “percraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya pernikahan.[16]
Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan, pada pasal 19 disebutkan
bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai alasan percraian adalah :
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah pernikahan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa
yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian adalah disebabkan karena :
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah pernikahan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami
melanggar ta’lik thalaq.
h. Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.
Berdasarkan
alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan pada PP No. 9 Tahun
1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa terdapat perbedaan
alasan-alasan perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI.
Perbedaan yang terjadi adalah berupa penambahan alasan perceraian yang diatur
oleh KHI, yaitu disebabkan suami melanggat ta’lik thalaq, dan terjadinya
peralihan agama/murtad.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Adapun
yang menjadi penyebab putusnya pernikahan menurut hukum Islam adalah disebabkan
karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim,
dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya pernikahan
dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya pernikahan adalah
disebabkan karena Thalaq, Khulu’, Fasakh, Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan li’an.
Sementara
menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya pernikahan tersebut
dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim.
Perceraian yang dimaksud adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan
atas Keputusan Hakim disebut dengan cerai gugatan. Di samping itu KHI juga
menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan murtad juga merupakan penyebab
putusnya pernikahan.
3.2.Saran
Penulis
menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang
dimiliki, serta minimya literatur dan bahan yang mampu dikumpulkan. Untuk itu,
sangat diharapkan kritikan, saran serta sumbangan pemikiran
konstruktif-edukatif untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya,
tiada gading yang tak retak. Mohon maaf atas segala kesalahan, dan terima kasih
atas segala kritikan dan sarannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua, khusus bagi pemakalah pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahhukumislamlengap.blogspot.com/2013/12/perceraian.html
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung
: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm. 9
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta
: Rineka Cipta, 1996),
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah Al-Islam tentang “Perceraian dalam Hukum Islam” ini dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yakni baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Dan Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
Setitik harapan dari saya sebagai penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah berikutnya.
Banjarsari, Januari 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2.
Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3. Tujuan
Penulisan................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
2.1. Putusnya
Pernikahan menurut Hukum Islam..................................... 2
2.2. Putusnya
Pernikahan Menurut Undang-Undang Pernikahan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ......................................................... 6
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 11
3.1. Kesimpulan......................................................................................... 11
3.2. Saran
.................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 12
Comments
Post a Comment